Setelah sekitar 22 hari sang Begawan menjadi pusat perhatian seluruh kawan dan lawan, minggu 27 Januari 2008 beliau secara resmi meninggalkan semua manis dan pahit dunia. Begawan Suharto yang dijuluki “the smiling jendral” oleh media asing ini dikebumikan layaknya masih menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, hal yang menurut saya sangat pantas untuk dilakukan.
Terlepas dari semua kontroversi yang mengikuti perjalanan karirnya sebagai presiden republic Indonesia, kita layak untuk mengangkat topi sebagai bentuk penghargaan atas semua jasanya kepada Negara. Begawan Suharto sebagai pemegang tongkat komando selama 32 tahun, tidak diragukan lagi telah memberikan kebanggaan tersendiri bagi rakyat Indonesia. Stabilitas keamanan dan peningkatan ekonomi beliau prioritaskan, walaupun akhirnya harus menyingkirkan nilai-nilai demokrasi. Namun, dimata rakyat kecil apalah arti demokrasi dibandingkan dengan sandang, pangan, dan papan yang murah? Begitulah pandangan rakyat biasa, rakyat ndeso seperti saya yang tongkrongannya kelas angkringan ini, yang tahu keadaan jaman Suharto hanya lewat obrolan para pengangkring.
Sejarah memang membuktikan, pemimpin yang terlahir dari sebuah prahara mempunyai kecenderungan besar untuk menjadi seorang dictator. Muncul sebagai pembebas namun berakhir dengan cacian. Begitu pula yang terjadi dengan Begawan kita ini, setelah sebelumnya dialami juga oleh Pemimpin Besar Revolusi Sukarno. Dengan wafatnya Jendral Besar Suharto, maka yang menarik kemudian adalah kelanjutan kasusnya, yang menurut saya bakalan tambah ruwet. Sekaligus sebagai tolok ukur kewibawaan pemerintah dibawah komando Presiden SBY.
Sekali lagi, terlepas dari semua kontroversi yang mengelilinginya, 7 hari yang ditetapkan pemerintah sebagai hari berkabung nasional merupakan hal yang patut diterima Begawan Suharto. Sehingga adanya demo di Bali yang menentang hal penetapan itu sangat tidak pantas dilakukan. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, semoga beliau diterima disisi-Nya.
Terlepas dari semua kontroversi yang mengikuti perjalanan karirnya sebagai presiden republic Indonesia, kita layak untuk mengangkat topi sebagai bentuk penghargaan atas semua jasanya kepada Negara. Begawan Suharto sebagai pemegang tongkat komando selama 32 tahun, tidak diragukan lagi telah memberikan kebanggaan tersendiri bagi rakyat Indonesia. Stabilitas keamanan dan peningkatan ekonomi beliau prioritaskan, walaupun akhirnya harus menyingkirkan nilai-nilai demokrasi. Namun, dimata rakyat kecil apalah arti demokrasi dibandingkan dengan sandang, pangan, dan papan yang murah? Begitulah pandangan rakyat biasa, rakyat ndeso seperti saya yang tongkrongannya kelas angkringan ini, yang tahu keadaan jaman Suharto hanya lewat obrolan para pengangkring.
Sejarah memang membuktikan, pemimpin yang terlahir dari sebuah prahara mempunyai kecenderungan besar untuk menjadi seorang dictator. Muncul sebagai pembebas namun berakhir dengan cacian. Begitu pula yang terjadi dengan Begawan kita ini, setelah sebelumnya dialami juga oleh Pemimpin Besar Revolusi Sukarno. Dengan wafatnya Jendral Besar Suharto, maka yang menarik kemudian adalah kelanjutan kasusnya, yang menurut saya bakalan tambah ruwet. Sekaligus sebagai tolok ukur kewibawaan pemerintah dibawah komando Presiden SBY.
Sekali lagi, terlepas dari semua kontroversi yang mengelilinginya, 7 hari yang ditetapkan pemerintah sebagai hari berkabung nasional merupakan hal yang patut diterima Begawan Suharto. Sehingga adanya demo di Bali yang menentang hal penetapan itu sangat tidak pantas dilakukan. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, semoga beliau diterima disisi-Nya.
gambar dari www.lepoint.fr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar