Rabu, 30 April 2008

The Spirit Of Java


Solo, merupakan sebuah kota yang terkenal di seantero Indonesia karena perannya dalam melahirkan seniman-seniman kondang, serta kota yang kesohor akan wisata kulinernya. Pertama kali saya menapakkan kaki di kota Solo, saya cukup heran dengan tampilnya sebuah kota yang menurut saya cukup sederhana. Berbeda dengan apa yang ada dalam benak saya, jauh dari Jogja yang hingar bingar dunia kotanya sudah sangat terasa, kota Solo lebih terasa tenang dan terkesan masih ”ndesani”. Dengan center point di jalan Slamet Riyadi, kota Solo hanya terlihat _istilah Jawanya ”sakklebatan”_, apalagi bagi orang yang hanya numpang lewat untuk pergi ke Surabaya.

Hal yang membuat kota ini unik, selain punya dua nama, yaitu Solo dan Surakarta, juga banyaknya icon, landmark, atau slogan yang disematkan pada kota ini, khususnya yang menunjukkan ke-Jawa-an-nya. Sebutlah; Solo Kota Budaya, Solo the Spirit of Java, Solo Kuthaku Jawa Budoyoku, Solo Future as Solo Past, serta sebutan-sebutan lain seperti Kota Kuliner, Kota Bengawan, dll.

Kejawennya kota Solo memang sangat terasa, apalagi didukung dengan adanya berbagai macam event seni budaya yang sering digelar, seperti event-event di Taman Budaya Surakarta, Joglo Sriwedari, serta di ISI Surakarta yang difasilitsi gedung pementasan memadai. Ada juga Solo Internasional Ethnic Music (SIEM) yang digelar tahun 2007 lalu dengan peserta para seniman dalam dan luar negeri. Event yang cukup sukses menyedot banyak penonton. Juga festival nasi liwet yang diadakan di sepanjang citywalk Kota Solo pada 8 Maret lalu yang memperoleh penghargaan dari MURI. Sedangkan yang baru digelar adalah Solo Batik Carnifal, yang juga bertempat di sepanjang jalan Slamet Riyadi. Selain event kebudayaan, bangunan – bangunan bersejarah dan penggunaan gedung yang bernuansa Jawa juga bertebaran mewarnai kota Solo.

Rasanya semua hal tersebut memang sudah pantas untuk mengukuhkan kota Solo sebagai kota Budaya, sebagai The Spirit of Java. Namun, yang harus diperhatikan adalah konsistensi kota Solo dalam menjaga slogan Solo Future as Solo Past yang sering digembar-gemborkan orang Solo. Sebagai kota berkembang, yang kebanyakan ditandai dengan banyaknya pembangunan fisik, pemkot Solo harus pandai-pandai dalam mengatur tata kotanya. Tanpa perencanaan yang matang, pembangunan yang membabi buta malahan bisa menghilangkan ciri khas kota Solo sebagai kota Budaya. Sebelum terlanjur, masih banyak kesempatan bagi Solo untuk mendesain sedemikian rupa bentuk kotanya, sehingga kelak mungkin bisa menjadi kota Jawa yang mendunia.

3 komentar:

Junjung Purba mengatakan...

selain budayanya, jangan lupa, sungai bengawan solo juga simbol kota ini lho...

findo_findo mengatakan...

iya 'Solo' emang mBUDAYAni banget... nalahan -disadari atau tidak- ada sedikit persaingan sama sodaranya 'Jogja'. pendapatku tok sih... faktanya nggak tau..

lepar dari itu--nggak tau kenapa,,dulu pas aku kecil, kalo lewat solo baru sama keliarka -mau pulang kampung-, Bapaku sering nyanyiin lagi 'BENTO', kenapa ya??apa ada hubungannya sama Pak Harto???

ichsandayat mengatakan...

mas Junjung bener tuh,,tapi sekarang sudah jadi simbol banjir.

Jogja Vs Solo, sepertinya memang ada something,,