”Melakukan perubahan mendasar pada peraturan dan penyelenggaraan sensor film dengan mengganti LSF menjadi sebuah lembaga klasifikasi film” Demikian tadi salah satu tuntutan dari para insan film yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) sekitar setahun yang lalu. Tuntutan yang disertai pengembalian Piala Citra tersebut kembali menjadi pebincangan di awal tahun 2008 ini. MFI yang digawangi oleh para sineas muda ini merasa keberadaan lembaga sensor film tersebut termasuk pelanggaran hak asasi dan sangat mematikan kreativitas, tentu saja ”kreativitas” versi mereka.
Lembaga Sensor Film (LSF) memang secara tak langsung atau bahkan langsung merupakan ”musuh” bagi para pekerja film. Perannya sebagai lembaga sensor menjadikan lembaga ini berhak mengebiri adegan film yang tentunya diiringi isak tangis dari para makernya. Bisakah lembaga sensor diubah menjadi lembaga klasifikasi??pertanyaan tersebut sangat sulit untuk dijawab. LSF yang saat ini melaksanakan keduanya, yaitu sensor dan klasifikasi masih dianggap masyarakat umum kurang peka dalam melakukan tugasnya. Sedangkan bagi masyarakat pekerja film, dari jaman simbah perang dulu LSF sudah dianggap sebagai pemasung kreativitas.
Sebagai negara yang sisi ”rasa malu”nya saya anggap masih lebih tinggi sedikit daripada negara lain khususnya dari negara barat, kita masih membutuhkan yang namanya lembaga sensor. Indonesia merupakan negara sok berkembang yang masyarakatnya sangat permisif terhadap budaya asing dan cenderung mulai menanggalkan alat filternya. Apalagi di era demokrasi yang menempatkan individu terlalu tinggi , maka masyarakatnya semakin ”mbungai” dan suka sekali mengadopsi hal-hal yang dianggap mencerminkan masyarakat modern. Oleh karena itu film sebagai media yang paling gampang diterima dan memiliki pengaruh besar haruslah di labeli lulus sensor terlebih dahulu sebelum diluncurkan ke pasaran. Tengok saja film kita sekarang, hasil ”kreativitas” para sineas muda tersebut. Film-film itu saja sudah melewati badan sensor, seperti apa wajah film Indonesia nantinya jika kita tidak punya lembaga sensor? Eksisnya Lembaga Sensor Film tersebut merupakan wujud kepedulian dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.
Seandainya dikatalah terjadi hilangnya lembaga sensor dan hanya tertinggal sebagai lembaga klasifikasi saja, maka sebagus-bagusnya pemerintah pusat membuat aturan hasilnya akan sangat berbeda dengan dilapangan. Memang apatis, tapi realistis saja, kita di Indondesia. Sebagaimana kita tahu, bioskop-bioskop kurang memperhatikan pengunjungnya. Khususnya akan kesesuaian umur dengan film yang ditontonnya, asal ada tiket siapapun bisa masuk ke bioskop. Sekalipun toh pemerintah menyediakan anggaran ekstra untuk mengawasi bioskop-bioskop tersebut, dengan kedipan mata saja beres masalah. Itulah birokrasi Indonesia.
Dengan menilik keadaan masyarakat Indonesia saat ini, belum saatnya kita menghapus lembaga sensor film dari dunia perfilman nasional. Yang harus dilakukan adalah perbaikan atas lembaga tersebut, karena seperti lembaga birokrasi lain, pastinya LSF tidak lepas dari dunia suap-menyuap. Bagi para pekerja film, seharusnya dengan adanya LSF malahan bisa memacu kreativitasnya untuk bisa lolos dari sensor. Bagaimana membuat film yang bermutu, yang menghibur tapi bisa diterima semua pihak, tidak hanya modal close up dada atau ciuman gay saja. Bukankah itu suatu tantangan??
1 komentar:
Tapi terkadang LSF seakan tak berguna mengingat semakin maraknya kasus pembajakan. Film2 yang sudah lulus sensor banyak yang dibajak, lalu didalamnya disisipi porno. Tambah bingung kan???
Posting Komentar